elrajab.com
Aku terlahir dengan nama lengkap Baso Aspani Mappasanrang dari rahim seorang ibu asli keturunan suku Bugis di pedalaman Luwu, Sulawesi Selatan. Ayahku juga keturunan asli yang sama. Namun, beliau menumpang lahir di negeri seberang, Flores, Nusa Tenggara. Mereka dipertemukan dalam pertalian suci pernikahan tanggal 12 Januari 1998 yang pada akhirnya mengantarku ke dunia sepuluh bulan kemudian. 10 November 1998.
Diseputar waktu kelahiranku itu, negeri ini sementara mengalami transisi. Rezim penguasa yang sebelumnya bertahta selama 32 tahun dikursi kepresidenen belum lama mangkat. Bentrokan masih sering terjadi, bahkan di kecamatan terpencil sekalipun. Sayang sekali, tak ada media yang meliput. Hingga tak ada yang melirik. Peduli? Aku rasa juga tidak ada.
Di masa transisi itu aku dilahirkan. Kursi perpolitikan masih panas. Desaku yang terkenal sebagai desa adat dengan seperangkat dewan adatnya yang terhormat pun tak luput dari permainan para elit. Sedikit kucuran dana, maka mereka tak segan memprovokasi masyarakat untuk ribut dengan sekelompok masyarakat yang lain. Perang antar suku diumumkan. Saling bunuh, saling bakar, saling tikam, semua terjadi. Entah berapa wanita yang jadi janda, anak yang jadi yatim, dan orang yang akhirnya harus hidup sendiri. Kepentingan politik itu dengan rapi dibungkus atas nama budaya ‘Siri’-harga diri- yang harus dipegang setiap manusia ksatria Bugis Luwu, membuat semua kengerian itu serta merta terjadi.
Dalam situasi itu aku dilahirkan. Ditengah berkecamuknya perang etnis. Hingga suatu malam di tempat pengungsian, aku berada dalam gendongan ibu. Di sampingnya ada nenekku yang sedang makan malam. Ada pula ayahku yang sedang berjaga dengan badik dipinggangnya. Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar deru motor tua mendekat ke tempat pengungsian. Salah seorang pemuda Bugis mengendarainya. Setelah mematikan motornya, dia menghampiri ayahku.
“Opu Sainuri, mohon maaf. Ada berita duka. Opu Jumadi gugur”. Katanya singkat dengan nafas tersengal.
Ayahku terhenyak. Diam sebentar. Jumadi adalah adiknya.
Dia melihat ke arah ibu.
“Tika, jaga Baso”. Pesannya singkatnya sebelum ikut ke medan tempur berboncengan dengan pemuda tadi.
Singkatnya, konflik berhasil diredam. Usiaku masih dalam buaian. Aku kehilangan seorang paman. Sementara, ayahku jadi buronan polisi. Pasukan seragam coklat itu telah menangkap puluhan orang. Dan masih bernafsu untuk meringkus bebapa orang lagi. Salah satunya, Andi Sainuri, ayahku
Satu tahun dalam pelarian, akhirnya ayah pulang setelah keadaan benar- benar pulih. Juga ada jaminan bahwa beliau tidak akan ditangkap. Syukurlah. Semua bersama kembali melanjutkan sisa hidup dengan torehan tinta takdir misteriusnya.